Jumat, 28 September 2012

Hutagalung dalam Aksara Batak





Andaikan ada huruf atau font pendukung Aksara Batak di situs ini pasti langsung dituliskan nama Hutagalung dalam Aksara Batak Toba, sayang sekali situs ini tidak mendukung maka admin hanya bisa menunjukkan lewat gambar paling atas.

Terima kasih!
HORAS!

Twitter : @HutagalungCyber

Selasa, 25 September 2012

Silsilah atau Tarombo Hutagalung Miralopak dan Si Raja Inaina




Dua Gambar di atas adalah merupakan Silsilah Hasibuan dan HUTAGALUNG Miralopak dan Si Raja Inaina, yang pertama adalah Miralopak dan yang kedua adalah Si Raja Inaina. Supaya jelas, klik gambar untuk memperbesar.

Untuk mendownload klik gambar di bawah ini :

Jika kesulitan, silahkan klik yang di bawah ini :
DOWNLOAD

Sumber : W. M. Hutagalung, PUSTAHA BATAK - Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak, 1991.

HORAS!
Facebook http://facebook.com/HutagalungCyber
Twitter https://twitter.com/HutagalungCyber atau @HutagalungCyber

Jumat, 21 September 2012

Sekilas Tentang Guru Mangaloksa dan Silsilah Toga Hasibuan - Si Opat Pisoran


Marga dari Keturunan Raja Sobu
Marga-marga keturunan Raja Sobu, antara lain: Sitompul dan si Raja Hasibuan. Dari si Raja Hasibuan berkembang lagi, yang tetap tinggal di Toba tetap Hasibuan, sedang "pomparan" Ompu Guru Mangaloksa yang merintis hidupnya ke wilayah Silindung, anak-anaknya berkembang menjadi si Raja Nabarat (Hutabarat), si Raja Panggabean (cabangnya, Simorangkir), si Raja Hutagalung dan si Raja Hutatoruan.
Si Raja Hutatoruan dua anaknya, itulah Hutapea (Silindung/Tarutung, beda dari Hutapea - Toba/Laguboti), dan Lumbantobing (biasa disingkat L. Tobing atau Tobing = Lumbantobing). Marga-marga tsb (diluar marga Hasibuan), secara "specific" pomparan Guru Mangaloksa dinamai "Pomparan ni si Opat Pu(i)soran".


Sejarah Singkat  Guru Mangaloksa

Guru Mangaloksa adalah keturunan Hasibuan. Pada suatu hari beliau berburu ke hutan, kebetulan Guru Mangaloksa mahir menggunakan sumpit (ultop). Pas berburu, dia berhasil menyumpit seekor burung yang konon katanya sebesar kambing, namun burung tersebut tidak langsung mati, malah terbang. Guru Mangaloksa pun mengikuti burung tersebut, namun tanpa disadari, beliau sudah semakin jauh dari kampung. Ketika dia sadar, dia tidak mengenal tempat itu. Namun tiba-tiba dia melihat asap, dan beliaupun mencari tahu asal asap itu. Dan akhirnya Guru Mangaloksa sampai lah ke Silindung (Sekarang Tarutung). Ternyata kampung tersebut milik marga Pasaribu.

Pada saat itu, kampung sedang dilanda teror. Di kampung tersebut sering didatangi burung rajawali berkepala tujuh yang suka memangsa anak-anak dan hewan ternak. Sudah banyak cara yang dilakukan raja Pasaribu untuk mengusir burung tersebut, namun hasilnya sia-sia. Akhirnya Guru Mangaloksa yang pandai menggunakan sumpit dan juga sakti itu, menawarkan diri untuk membunuh burung tersebut. Dan akhirnya dia berhasil membunuh burung rajawali berkepala tujuh itu. Sebagai imbalan, raja Pasaribu memberikan salah seorang putrinya untuk dijadikan istri oleh Guru Mangaloksa.

Setelah guru Mangaloksa menikah dengan boru Pasaribu, Guru Mangaloksa berniat meminta sedikit tanah untuk bertani kepada mertuanya(Raja Pasaribu). Sehingga dia mengutus istrinya untuk mengahadap sang raja. Namun ternyata terjadi salah paham, Guru Mangaloksa meminta sedikit tanah yang oleh Raja Pasaribu diartikan berbeda. Dia pun memberikan tanah dalam tandok (tempat beras/padi) untuk dibawa boru Pasaribu ke suaminya (Guru Mangaloksa).

Melihat hal itu, Guru Mangaloksa sakit hati terhadap mertuanya. Namun dia tidak ingin bertengkar dengan mertuanya. Akhirnya dia memikirkan sebuah siasat untuk mengelabui mertuanya dan menyuruh mereka untuk keluar dari kampung tersebut.

Guru Mangaloksa membuat seolah-olah kampung mereka sedang dikepung musuh, kemudian dia meletakkan poring (sebuah tanaman jika dipijak akan menimbulkan bunyi seperti letusan senjata). Ketika dia menyampaikan kabar bahwa kampung telah di kepung musuh, mertuanya pun panik dan berlari keluar. Tiba-tiba dia menginjak poring tadi, mertuanya mengira itu adalah suara letusan senapan (bodil) musuh. Akhirnya Guru Magaloksa berhasil mengajak mertuanya mengungsi. Sejak kejadian itu ada ungkapan dalam masyarakat batak yaitu “Pasaribu na dilele ni poring (Pasaribu yang dikejar poring)”.

Dalam perjalanan ke pengungsian bersama mertuanya, Guru Mangaloksa meminta izin kepada mertuanya untuk kembali ke kampung untuk melihat keadaan, dan mertuanya pun merestui. Dalam perjalanan, pas di tepi aek situmandi, anak pertama guru Mangaloksa pun lahir. Anak itu diberi nama Si Raja Nabarat, na barat artinya yang berlawanan. Saat itu Guru Mangaloksa menyadari perbuatannya terhadap mertua (hula-hula) bahwa itu sebenarnya bertentangan.

Kemudian lahirlah anak kedua, yang dinamakan Si Raja Panggabean, yang artinya sejahtera. Guru Mangaloksa melihat, walaupun dia telah berbuat salah terhadap mertua (hula-hula)nya, tapi dia masih diberikan kesejahteraan (hagebeon) oleh Ompu Mulajadi Nabolon.

Kemudian anak ketiga lahir diberi nama Si Raja Hutagalung. Dan Anak Keempat diberi nama Si Raja Hutatoruan (Hutapea dan Lumbantobing).

Logo Hutagalung Sedunia
Flag Counter